Jumat, 29 Maret 2013

Perbandingan Poster Era 80an dengan 2000an

Sebenarnya ini adalah Tugas Semesteran Pengkajian Sinema saya tahun 2011 yang lalu, saya post di blog, siapa tau ada yang pengen tahu.hahahaha


 
Abstrak
Sejak era 80-an film Indonesia berkembang di seluruh pelosok Indonesia. Salah satu hal yang menunjang kesuksesan sebuah pemutaran film adalah poster. Poster sejak era 80-an menggambarkan sesuatu yang realis. Poster era 80-an dibuat oleh para pelukis realis yaitu menggambarkan adegan yang ada dalam film tersebut. Dalam persebarannya, poster era 80-an dibuat secara repro dan menggunakan rugos sebagai tipografi huruf dalam posternya. Bedanya dengan film-film era 2000-an, yang telah mengenal teknologi, poster dibuat secara digital dan mayoritas menggunakan efek fotografi yang menarik. Tulisan ini akan membandingkan antara poster film era 80-an dengan era 2000-an dari berbagai genre film yaitu komedi, percintaan, maupun laga/mistik.


 
Pengantar
           Media merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesuksesan sebuah film. Film yang bagus dari segi penyutradaraan, musik, keaktoran, maupun jalan cerita tidak akan dilirik masyarakat bila tidak ada media. Media secara langsung menyampaikan berbagai gagasan yang ada dalam film dan memberikan gambaran singkat tentang isi cerita. Sering pula media disebut sebagai salah satu ‘ibu masyarakat’. Sebutan tersebut layak karena dengan media, masyarakat seolah akan percaya bahwa film yang akan mereka tonton itu baik atau tidak. Dapat digambarkan bahwa susu yang berkemasan pabrik akan lebih dilirik masyarakat daripada susu murni yang hanya dijual dengan plastik, walaupun dengan rasa yang sama. Peran kemasan sama halnya dengan media. 
           Media yang paling berpengaruh sejak suatu film selesai dibuat adalah poster. Poster merupakan satu pencitraan dalam gambar dan tulisan yang menggambarkan semua isi film. Poster tidak dibuat secara asal-asalan. Poster yang dikatakan berhasil adalah poster yang membuat masyarakat tertarik untuk menonton film tersebut. Stephanus Brasstya, pembuat poster, mengatakan bahwa poster juga merupakan resensi dalam bentuk gambar. Dalam hal ini pembuat poster termasuk semiotikawan. Hal tersebut dikarenakan semiotikawan menggunakan suatu pendekatan sebagai tindak komunikasi(Kurniawan, 2001:52). Seor39610_449356988918_645188918_5300913_654514_n ang yang membuat poster harus mengetahui isi film, lalu menuangkan dalam bentuk gambar visual yang menarik minat masyarakat.
           Sering media disangkutkan dengan muatan politik, sekalipun dalam film. Poster film Pengkhianatan G30S/PKI(1984), menjadi media yang sangat ampuh. Walaupun film itu sendiri adalah media politik, tetapi dengan melihat posternya, orang akan lebih tertarik menonton film tersebut. Dalam poster tersebut terdapat tulisan “Film terbesar yang tak mungkin terulang lagi”. Embel-embel tersebut membuat masyarakat lebih antusias. Poster tersebut memberikan suatu pencitraan yang megah pada film tersebut. Tentu saja hal ini mempunyai muatan politik, agar masyarakat menonton, terpengaruh, membenci PKI dan akhirnya akan memuja Soeharto sebagai ‘tokoh yang baik’ dalam film tersebut.
           Warna-warna poster juga mempengaruhi dalam aura yang akan dibawa film tersebut. Film yang bernuansa komedi akan cenderung menggunakan warna-warna cerah. Begitu juga dengan film horror, akan menggunakan warna-warna yang gelap. Penggunaan warna tersebut juga merupakaan kepekaan artistik dan merupakan bahasa rupa (Sanyoto, 2009:54). Warna-warna tentu saja mempunyai simbol dan mempengaruhi rasa masyarakat yang melihatnya. Proporsi warna yang tepat menciptakan interpretasi suatu poster terhadap isi dalam film.


Perbandingan Teknik Pembuatan Poster era 80-an dengan era 2000-an.
           Poster-poster film Indonesia yang sering kita lihat di bioskop sangat beragam dan berwarna-warni. Esensi sebuah poster adalah menghadirkan suasana dan rasa ketertarikan pada suatu film. Kadang-kadang orang tidak tahu akan menonton film apa di bioskop walaupun sudah datang ke bioskop. Dengan adanya poster, orang yang datang ke bioskop mempunyai gambaran yang pasti tentang film yang akan ditontonnya.
           Perkembangan film tentu saja diiringi dengan perkembangan posternya. Era 80-an, jarang kita melihat poster yang menggunakan art paper (kertas yang umum digunakan dalam pembuatan poster saat ini). Pada jaman dahulu, pembuatan poster dilakukan pada sebuah bidang lebar yaitu kain. Pada saat ini, bidang tersebut sering kita sebut sebagai banner. Poster pada era 80-an dibuat secara manual. Airbrush dan kompresor adalah alat yang digunakan sebagai media cetaknya. Tentu saja hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang benar-benar ahli menggambar dengan airbrush. Dalam tipografi tulisannya (lettering), para pembuat poster menggunakan Mecanorma, Letraset maupun Rugos. Pembuatan poster dilakukan satu per satu dengan tingkat kesabaran yang tinggi. Apabila dibandingkan antar poster, tentu saja akan mengalami perbedaan walau hanya sedikit.
           Hal tersebut sangat berbeda dengan teknologi era 2000-an. Saat ini, semua poster dibuat dengan digital, walaupun beberapa bioskop kecil masih menggunakan metode repro seperti pada era 80-an. Menurut mereka, lukisan di kain yang ditempel besar di bagian atas-depan bioskop merupakan sebuah karya seni. Pembuat poster saat ini tentu saja menganggap bahwa menggambar dengan airbrush membutuhkan waktu yang banyak. Saat ini pembuatan poster hanya membuat pada satu file, lalu tinggal dicetak sebanyak yang dibutuhkan. Proses pembuatan secara digitalisasi ini memberikan kemudahan dan mengurangi kualitas poster film dibandingkan dengan cara pelukisan era 80-an.


Warna dan Tipografi dalam Poster
           Secara tipografi poster era 2000-an lebih eye-catching dan lebih menarik bila dibandingkan tipografi era 80-an. Pada era 80-an, jenis tulisan yang dipakai sangat beragam. Jenis-jenis font tersebut memang dibuat penuh agar poster terkesan ramai. Pada era 80-an jenis font yang digunakan sangat terbatas. Hal tersebut membuat beberapa poster film yang berbeda menggunakan tipografi dengan jenis font yang sama.

1. Laga dan Mistik
           Film dengan genre laga, selalu digabungkan dengan mistik/horor. Tipografi pada poster film horor mayoritas menggunakan font yang tegas, kuat dan mempunyai efek bayangan pada font judulnya.1 Tentu saja membuat tipografi tersebut ada alasannya. Tulisan yang tegas menggambarkan bahwa dalam film tersebut ada kisah seorang pahlawan yang kuat. Bayangan, bercak darah, dan efek shading pada tulisannya menggambarkan tentang kemistikan dalam film tersebut. Selain itu dalam contoh di samping, pada tulisan Mandala terdapat warna seperti karang yang kokoh dengan petir di sekitarnya. Mandala juga dapat berarti petir. Oleh karena itu, tipografi tulisan tersebut dibuat dengan efek-efek petir di sekitarnya untuk menguatkan isi cerita. Sebagian orang awam mungkin tidak akan menyadari pentingnya sebuah tipografi. Namun bagi pembuat poster, tipografi dianggap sebagai media penyampaian secara tidak langsung karena berupa visual yang tidak semua orang tahu artinya.
           Pada poster era 2000-an, terdapat batasan yang jelas antara film laga dan film horor. Orang berpikir lebih rasional bahwa tokoh dalam film laga tidak mempunyai kekuatan mistis layaknya film 80-an antara orang kuat dengan kekuatan sihir. Sutradara mulai mem2berikan gambaran bahwa kemistikan tidak lagi ada pada manusia, tetapi pada hantu. Manusia dengan kekuatan super sudah tidak muncul dalam horor era 2000-an. Hal tersebut juga mempengaruhi tipografi posternya. Poster laga masih menggunakan font besar dengan sifat tegas seperti pada era 80-an. Contoh poster film laga tersebut dapat dilihat dari Serigala Terakhir dan Merantau.
           Dalam film horor terdapat banyak perubahan jenis tulisan. Pada film horor era 2000-an, jarang dijumpai jenis font 3D. Selain itu desain poster mengalami perbedaan dari segi warna. Karena dibuat secara digital, gradasi warna dianggap tidak menarik lagi. Pembuatan gradasi pada era 80-an dilakukan untuk membuat poster tampak menarik pada bidang yang lebar. Pada poster era 80-an sedikit yang menggunakan warna hitam, karena apabila terjadi kesalahan kerja, warna hitam tidak bisa ditumpuk dengan warna lain. Itulah alasan poster era 80-an menghindari warna hitam, walaupun warna yang digunakan masih berada dalam ‘lingkaran warna gelap’. Tetapi sejak munculnya komputer, poster film era 2000-an mempunyai warna yang lebih berani, yaitu merah dan hitam. Tidak ada lagi ketakutan membuat warna kontras antara hitam, merah, dan putih, karena semua dikerjakan di komputer sehingga mudah untuk memperbaiki apabila ada kesalahan warna.

2. Drama/ Percintaan/ Musikal
           3 Tipografi pada film drama atau percintaan mayoritas menggunakan font Italic seperti yang dijumpai dalam novel-novel percintaan Indonesia. Walaupun beberapa film drama juga menggunakan font yang tegas untuk menggambarkan kerasnya percintaan. Penulisan model font Italic tersebut dapat disangkutkan dengan cerita anak muda yang gemar menulis surat. Kecenderungan orang menulis surat pada kekasihnya tersebut mempengaruhi dalam pembuatan poster dari segi tipografi berjenis Italic layaknya orang menulis dengan tangan. Selain itu jenis font yang dapat dipahami seperti orang menulis itu terkesan lebih romantis. Tekstur tulisannya juga tidak terdapat efek petir ataupun retakan seperti pada film laga. Tekstur yang halus tersebut juga memberi kesan bahwa cinta itu ringkas, halus, dan indah dipandang.
           Selain judul yang ditulis dengan Italic, banyak film drama yang memberikan sedikit puisi atau kata-kata indah untuk memberikan kesan romantisme. Dalam film Bila Saatnya Tiba, terdapat beberapa kata kutipan yang berbunyi, “diantara pasrah dan kodrat kehidupannya, sanggupkah dia mewarisi setetes kebahagiaan abadi untuk anak-anaknya?” Kalimat tersebut mempunyai nilai estetik sehingga tampak indah lalu diharapkan bahwa para penonton dapat terbawa suasana pada perjuangan seorang ibu terhadap anak-anaknya.
           Poster film drama era 80-an tersebut dilawan habis oleh poster Ada Apa dengan Cinta. Poster dengan tipografi yang tidak biasa dan warna yang bercampur aduk menjadi suatu gebrakan batasan poster di Indonesia. Sejak munculnya poster AADC, para pembuat film juga semakin leluasa menciptakan poster-poster lain yang lebih kreatif dan tidak terikat aturan. Pengkhususan jenis tulisan dan batasan 4warna menjadi sesuatu yang basi. Bahkan poster film 3 Hari Untuk Selamanya, Jermal, dan Berbagi Suami menggunakan tipografi jenis tulisan yang minimalis. Tulisan yang mudah dibaca dan standar tidak lagi dianggap kaku, tetapi terkesan lebih enak dipandang. Bandingkan dengan tulisan latin pada film 80-an yang terkesan ketinggalan jaman. Era modern juga mempengaruhi kebebasan dalam poster. Warna dan tulisan yang minimalis mungkin akan lebih dilirik masyarakat daripada warna yang ‘amburadul’ dan kaku.
           Warna putih yang sering digunakan dalam poster film drama mempunyai makna positif, yaitu kesucian, kejujuran, ketulusan, kedamaian, ketentraman, dan kehormatan (Sanyoto, 2009:58). Hal tersebut tentu saja mengacu pada cinta yang murni dan suci. Walaupun cinta itu kompleks dan memiliki banyak masalah, semuanya akan berakhir pada kedamaian dan ketentraman.
           Pada poster film Jermal, sangat dominan warna biru. Warna biru mengacu pada laut dan mempunyai makna perdamaian, stabilitas, keharmonian, kesatuan. Dari warna dapat diketahui film tersebut membawa suasana cerita pada persatuan suatu keluarga. Berbagai masalah dihadapi tetapi membawa perdamaian antara seorang anak dengan ayahnya.

3. Komedi
             Poster film komedi sejak era 80-an termasuk poster yang paling bebas daripada genre-genre lain. Poster komedi lebih mudah dibuat dan lebih mudah dipahami sehingga pesan dalam poster tersebut sampai pada pemahaman masyarakat. Melihat poster komedi, orang pasti akan tertawa, atau paling tidak tersenyum kecil. Tipografi dalam poster komedi bermacam-macam. Tidak ada ikatan harus tegas, Italic, ataupun bermotif. Semuanya bebas tergantung tema yang akan dibawa film tersebut.
5
           Sebagai contoh, tipografi poster film Ateng the Godfather meniru tulisan dari serial film The Godfather di Amerika. Karena film komedi terkesan bebas, segala hal dapat dilakukan termasuk meniru jenis font tersebut untuk menambah rasa humor dari film tersebut. Film lain, Ateng si Boneka Kayu juga menggunakan tipografi tulisan dengan model seperti robot kayu pada film Pinnochio. Dengan membaca judul poster dan melihat tipografi tulisannya, orang mempunyai pandangan bahwa film Ateng tersebut merupakan tiruan dari boneka Pinokio. Warna yang digunakan juga sesuai dengan nuansa cerita yaitu coklat. Coklat mengacu pada warna kayu, warna boneka Pinokio. Hal serupa terjadi pada film Dono, Kasino, Indro. Film komedi mereka yang berjudul Manusia 6.000.000 Dollar merupakan ‘plesetan’ dari film Amerika Six Million Dollar Man. Tipografi tulisan antara kedua film itu mempunyai persamaan dalam jenis dan posisi tulisan dalam posternya.
           Selain Ateng, nama yang sering muncul dalam film komedi adalah Joe dan Si Kabayan. Kedua tokoh tersebut diperankan oleh aktor yang sama yaitu Didi Petet. Pada tipografi posternya, Joe dituliskan dengan huruf latin dan ukuran yang besar. Sedangkan poster Si Kabayan menggunaka6n font yang unik. Warna pada poster kabayan juga menggambarkan bahwa Kabayan berasal dari desa. Warna hijau menggambarkan tentang keseragaman alam. Pada era 2000-an dibuat juga film komedi tentang Kabayan dengan problematikanya di kota. Kedua poster Kabayan tersebut tentu saja mengalami perbedaan. Pada pembuatan Kabayan yang terbaru, poster juga diciptakan berwarna-warni, menandakan bahwa kehidupan Kabayan tidak sekadar di desa lagi, tetapi masuk ke dalam perkotaan. Selain itu jenis tulisan yang digunakan hampir mirip dengan Kabayan pada era 80-an, hanya saja pada era 2000-an, jenis tulisan tersebut lebih enak dibaca karena warnanya lebih cerah. Selain itu persamaan yang sama adalah warna hijau pada latar belakang menggambarkan suasana pedesaan yang penuh dengan pohon dan rumput.
           Film-film komedi era 2000-an lebih mementingkan dominasi warna. Dalam poster Namaku Dick, Wakil Rakyat, dan Asmara Dua Diana, warna-warna yang dominan adalah warna panas. Warna panas tersebut meliputi kuning, biru cerah, pink, putih, merah, dan semua warna yang menjadi perhatian mata.


Cerita dalam Sebuah Gambar
           Membuat poster berarti menceritakan kembali isi cerita dalam film dengan bahasa visual. Membuat poster tidak hanya memberikan gambaran visual saja, tetapi juga memberikan sesuatu yang ‘lebih’ agar orang tertarik menonton film tersebut. Masalah penilaian penonton terhadap jalan cerita atau akting yang buruk setelah menonton film tentu saja tidak menjadi pertimbangan dalam poster. Tidak ada poster yang memberikan gambaran buruk pada suatu film. Poster akan dibuat semenarik mungkin, walaupun film yang dihadirkan tidak begitu menarik.
           Banyak yang menilai poster-poster film di Indonesia pada era 2000-an merupakan jiplakan dari poster film luar negeri. Hal tersebut merupakan dampak negatif dari perkembangan teknologi. Jelas apabila era 80-an poster dibuat dengan keaslian para desainer dan pelukis poster, karena mereka menganggap bahwa saat itu Indonesia dengan luar negeri adalah sama. Para pembuat poster era 80-an bahkan dapat melukis wajah orang dengan tinta dan kuas lalu menuangkannya dalam bidang kain dengan jumlah yang banyak.

1. Tekstual
           Pembuatan secara tekstual banyak digunakan dalam poster era 80-an. Tekstual mempunyai artian bahwa gambar dalam poster tersebut sesuai dengan adegan dalam film tersebut. Hampir semua poster film era 80-an memakai beberapa adegan dalam film sebagai gambar dalam posternya. Tekstual memang tidak memerlukan model lagi, semua berada pada imajinasi pembuat poster. Oleh karena itu, pembuat poster pada masa itu adalah pelukis realis yang hebat. Ciri-ciri yang sering muncul pada film laga dan mistik era 80-an antara lain tokoh utama dengan tokoh antagonisnya. Selain itu dalam poster selalu diberikan gambar efek-efek tenaga dalam berupa api, petir, maupun mata yang menyala-nyala. Karena dibuat secara manual, poster jaman dahulu juga sering disebut dengan lukisan. Teknik pembuatan ‘lukisan palsu’ itulah yang disebut repro.
           Poster film percintaan Indonesia era 80-an mempunyai ciri, yaitu cuplikan adegan percintaan antara tokoh utama dengan lawan mainnya (berpasangan pria-wanita). Cuplikan adegan tersebut kadang-kadang juga terkesan vulgar, sehingga memancing reaksi masyarakat karena penasaran dengan isi film tersebut. Cuplikan adegan hot menjadi ‘bumbu yang sedap’ dalam poster drama/ percintaan. Sosok wanita dalam poster film percintaan adalah dominasi. Menurut Drs. Sadjiman Ebdi Sanyoto, dominasi digunakan sebagai daya tarik, pusat perhatian, dan keiistimewaan (Sanyoto, 2009: 248). Wanita cantik dengan pose yang menantang adalah trik untuk memikat para pria yang rindu kasih sayang wanita untuk tertarik pada film itu.

2. Konseptual
           Poster film yang menggunakan metode konseptual adalah poster era era 2000-an. Tetapi pada poster-poster film komedi, sejak era 80-an banyak film yang menggunakan metode konseptual. Konseptual berarti tidak harus mengambil adegan dalam film. Metode konseptual inilah yang dikatakan sebagai ‘bahasa pembuat film’ dalam bentuk visual. Konseptual tidak hanya mengambil adegan-adegan yang dianggap menarik dalam film, tetapi menggabungkan dan membentuk suatu kesatuan yang mempunyai makna. Berbeda dengan tekstual yang hanya menggambarkan adegan tanpa membuat suatu konsep.
           Walaupun secara sederhana, film Makin Lama Makin Asyik yang diperankan oleh Warkop adalah salah satu contoh poster konseptual. Wajah para pemain yang dipotong lalu digabungkan dengan gambar lain merupakan konsep film yang sesuai dengan judul yaitu si wanita duduk di atas si pria yang sudah kelelahan. Si pria digambarkan ‘sok kuat’7 dengan mengangkat wanita tersebut. Sedangkan dua pria di belakang sebagai cuplikan adegan tekstualnya.
            Pada era 2000-an, sebagian besar poster dibuat dengan konseptual. Walaupun mengambil cuplikan-cuplikan adegan seperti dalam poster Ruma Maida, namun potongan tersebut membentuk sebuah cerita. Pada bagian atas, seorang wanita kota yang peduli pada kehidupan anak-anak jalanan tetapi mengalami kendala dengan seorang kontraktor yang ingin merebut rumah didiknya. Pada bagian bawah, digambarkan tentang kehidupan masa lalu yang menceritakan sejarah rumah tersebut. Dua bagian itu dibagi secara konseptual, bahwa bagian atas adalah masa kini, dan bagian bawah adalah masa lalu.
           Kalau pada poster era 80-an pembuat poster dituntut ketelitian dan keahlian dalam melukis, pembuat poster era 2000-an dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pembuatan konsep. Mengeksekusi dan mewujudkan poster itu mudah asalkan mendapatkan konsep yang sesuai. Banyak orang yang bisa menggambar, bermain dengan desain komputer, tetapi tidak banyak orang yang mempunyai ide kreatif.


Kesimpulan
           Warna-warna yang dominan pada poster film horor/ laga/ mistik adalah warna ‘dingin’ dan gelap. Untuk horor 80-an, pembuat poster memberi efek petir dan laser untuk menambah variasi poster. Sedangkan untuk horor 2000-an, warna poster cenderung lebih banyak warna kontras antara gelap dengan terang. Kesan yang ditimbulkan dari warna tersebut adalah misteri, kekelaman, kejahatan. Pada film percintaan, warna yang dominan adalah putih, hijau, biru. Dalam percintaan 80-an, tipografi font poster yang digunakan menggunakan Italic dan banyak puisi yang dituliskan. Sedangkan untuk film komedi, warna yang digunakan lebih beragam karena komedi mempunyai keleluasaan dalam hal poster dan tidak mempunyai batasan-batasan. Sejak era 80-an, film komedi juga yang menggambarkan poster secara konseptual. Hal tersebut membuat poster mempunyai cerita, tidak hanya mengambil cerita dan adegan dalam film.
           Pada era modern pembuatan poster memang lebih mudah. Hanya tinggal membuat satu desain, lalu tinggal memperbanyak sesuai kebutuhan. Para pembuat poster era 2000-an dituntut lebih cerdas untuk memikirkan konsep. Tak jarang juga poster membuat suatu kontroversi masyarakat. Kadang-kadang gambar poster menyudutkan suatu suku tertentu atau memberikan gambaran yang buruk pada suatu daerah. Poster sering juga mendapat pujian, seperti dalam poster Cin(t)a, dengan gambar dan tulisan minimalis, dua buah jari dengan wajah bermata sipit dengan mata biasa. Poster tersebut mendapat apresiasi yang baik karena konsep yang dihadirkan sesuai dengan judul dan tema cerita. Yang jelas, poster berfungsi sebagai media pendamping film yang memberikan nuansa dan ketertarikan masyarakat pada film. Dengan adanya poster, masyarakat lebih yakin dan punya gambaran tentang film yang akan mereka tonton.


Daftar Pustaka
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: IndonesiaTera.
Sanyoto, Drs. Sadjiman Ebdi. 2009. Nirmana.Yogyakarta: Jalasutra
Sumber Laman Internet:
Maztor. 2009. “Gado-gado nostalgia”. http://mazton.multiply.com/. Diakses 8 April 2011.
http://www.kaskus.us/forumdisplay.php?f=11 (forum Movies). Diakses 8 April 2011.